Total Tayangan Halaman

Rabu, 07 Desember 2011

Andrea Hirata, Penulis Tetralogi Laskar Pelangi



      Andrea Hirata Seman Said Harun lahir di pulau Belitung 24 Oktober 1982, Andrea Hirata sendiri merupakan anak keempat dari pasangan Seman Said Harunayah dan NA Masturah. Ia dilahirkan di sebuah desa yang termasuk desa miskin dan letaknya yang cukup terpelosok di pulau Belitong. Tinggal di sebuah desa dengan segala keterbatasan memang cukup mempengaruhi pribadi Andrea sedari kecil. Ia mengaku lebih banyak mendapatkan motivasi dari keadaan di sekelilingnya yang banyak memperlihatkan keperihatinan.




Nama Andrea Hirata sebenarnya bukanlah nama pemberian dari kedua orang tuanya. Sejak lahir ia diberi nama Aqil Barraq Badruddin. Merasa tak cocok dengan nama tersebut, Andrea pun menggantinya dengan Wadhud. Akan tetapi, ia masih merasa terbebani dengan nama itu. Alhasil, ia kembali mengganti namanya dengan Andrea Hirata Seman Said Harun sejak ia remaja.



“Andrea diambil dari nama seorang wanita yang nekat bunuh diri bila penyanyi pujaannya, yakni Elvis Presley tidak membalas suratnya,” ungkap Andrea.



Sedangkan Hirata sendiri diambil dari nama kampung dan bukanlah nama orang Jepang seperti anggapan orang sebelumnya. Sejak remaja itulah, pria asli Belitong ini mulai menyandang nama Andrea Hirata. Andrea tumbuh seperti halnya anak-anak kampung lainnya. Dengan segala keterbatasan, Andrea tetap menjadi anak periang yang sesekali berubah menjadi pemikir saat menimba ilmu di sekolah. Selain itu, ia juga kerap memiliki impian dan mimpi-mimpi di masa depannya.

Seperti yang diceritakannya dalam novel Laskar Pelangi, Andrea kecil bersekolah di sebuah sekolah yang kondisi bangunannya sangat mengenaskan dan hampir rubuh. Sekolah yang bernama SD Muhamadiyah tersebut diakui Andrea cukuplah memperihatinkan. Namun karena ketiadaan biaya, ia terpaksa bersekolah di sekolah yang bentuknya lebih mirip sebagai kandang hewan ternak. Kendati harus menimba ilmu di bangunan yang tak nyaman, Andrea tetap memiliki motivasi yang cukup besar untuk belajar. Di sekolah itu pulalah, ia bertemu dengan sahabat-sahabatnya yang dijuluki dengan sebutan Laskar Pelangi.

Di SD Muhamadiyah pula, Andrea bertemu dengan seorang guru yang hingga kini sangat dihormatinya, yakni NA (Nyi Ayu) Muslimah.



“Saya menulis buku Laskar Pelangi untuk Bu Muslimah,” ujar Andrea dengan tegas kepada Realita.



Kegigihan Bu Muslimah untuk mengajar siswa yang hanya berjumlah tak lebih dari 11 orang itu ternyata sangat berarti besar bagi kehidupan Andrea. Perubahan dalam kehidupan Andrea, diakuinya tak lain karena motivasi dan hasil didikan Bu Muslimah. Sebenarnya di Pulau Belitong ada sekolah lain yang dikelola oleh PN Timah. Namun, Andrea tak berhak untuk bersekolah di sekolah tersebut karena status ayahnya yang masih menyandang pegawai rendahan. “Novel yang saya tulis merupakan memoar tentang masa kecil saya, yang membentuk saya hingga menjadi seperti sekarang,” tutur Andrea yang memberikan royalti novelnya kepada perpustakaan sebuah sekolah miskin ini.

Tentang sosok Muslimah, Andrea menganggapnya sebagai seorang yang sangat menginspirasi hidupnya. “



Perjuangan kami untuk mempertahankan sekolah yang hampir rubuh sangat berkesan dalam perjalanan hidup saya,” ujar Andrea.



Berkat Bu Muslimah, Andrea mendapatkan dorongan yang membuatnya mampu menempuh jarak 30 km dari rumah ke sekolah untuk menimba ilmu. Tak heran, ia sangat mengagumi sosok Bu Muslimah sebagai salah satu inspirator dalam hidupnya. Menjadi seorang penulis pun diakui Andrea karena sosok Bu Muslimah. Sejak kelas 3 SD, Andrea telah membulatkan niat untuk menjadi penulis yang menggambarkan perjuangan Bu Muslimah sebagai seorang guru. “Kalau saya besar nanti, saya akan menulis tentang Bu Muslimah,” ungkap penggemar penyanyi Anggun ini. Sejak saat itu, Andrea tak pernah berhenti mencoret-coret kertas untuk belajar menulis cerita.


Setelah menyelesaikan pendidikan di kampung halamannya, Andrea lantas memberanikan diri untuk merantau ke Jakarta selepas lulus SMA. Kala itu, keinginannya untuk menggapai cita-cita sebagai seorang penulis dan melanjutkan ke bangku kuliah menjadi dorongan terbesar untuk hijrah ke Jakarta. Saat berada di kapal laut, Andrea mendapatkan saran dari sang nahkoda untuk tinggal di daerah Ciputat karena masih belum ramai ketimbang di pusat kota Jakarta. Dengan berbekal saran tersebut, ia pun menumpang sebuah bus agar sampai di daerah Ciputat. Namun, supir bus ternyata malah mengantarkan dirinya ke Bogor. Kepalang tanggung, Andrea lantas memulai kehidupan barunya di kota hujan tersebut.

Beruntung bagi dirinya, Andrea mampu memperoleh pekerjaan sebagai penyortir surat di kantor pos Bogor. Atas dasar usaha kerasnya, Andrea berhasil melanjutkan pendidikannya di Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia. Merasakan bangku kuliah merupakan salah satu cita-citanya sejak ia berangkat dari Belitong. Setelah menamatkan dan memperoleh gelar sarjana, Andrea juga mampu mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan pendidikan S2 Economic Theory di Universite de Paris, Sorbonne, Perancis dan Sheffield Hallam University, Inggris.

Berkat otaknya yang cemerlang, Andrea lulus dengan status cum laude dan mampu meraih gelar Master Uni Eropa. Sekembalinya ke tanah air, Andrea bekerja di PT Telkom tepatnya sejak tahun 1997. Mulailah ia bekerja sebagai seorang karyawan Telkom. Kini, Andrea masih aktif sebagai seorang instruktur di perusahaan telekomunikasi tersebut. Selama bekerja, niatnya menjadi seorang penulis masih terpendam dalam hatinya. Niat untuk menulis semakin menggelora setelah ia menjadi seorang relawan di Aceh untuk para korban tsunami. “Waktu itu saya melihat kehancuran akibat tsunami, termasuk kehancuran sekolah-sekolah di Aceh,” kenang pria yang tak memiliki latarbelakang sastra ini.

Kondisi sekolah-sekolah yang telah hancur lebur lantas mengingatkannya terhadap masa lalu SD Muhamadiyah yang juga hampir rubuh meski bukan karena bencana alam. Ingatan terhadap sosok Bu Muslimah pun kembali membayangi pikirannya. Sekembalinya dari Aceh, Andrea pun memantapkan diri untuk menulis tentang pengalaman masa lalunya di SD Muhamadiyah dan sosok Bu Muslimah. “Saya mengerjakannya hanya selama tiga minggu,” aku pria yang berulang tahun pada 24 Oktober ini.

Naskah setebal 700 halaman itu lantas digandakan menjadi 11 buah. Satu kopi naskah tersebut dikirimkan kepada Bu Muslimah yang kala itu tengah sakit. Sedangkan sisanya dikirimkan kepada sahabat-sahabatnya dalam Laskar Pelangi. Tak sengaja, naskah yang berada dalam laptop Andrea dibaca oleh salah satu rekannya yang kemudian mengirimkan ke penerbit.

Bak gayung bersambut, penerbit pun tertarik untuk menerbitkan dan menjualnya ke pasar. Tepatnya pada Desember 2005, buku Laskar Pelangi diluncurkan ke pasar secara resmi. Dalam waktu singkat, Laskar Pelangi menjadi bahan pembicaraan para penggemar karya sastra khususnya novel. Dalam waktu seminggu, novel perdana Andrea tersebut sudah mampu dicetak ulang. Bahkan dalam kurun waktu setahun setelah peluncuran, Laskar Pelangi mampu terjual sebanyak 200 ribu sehingga termasuk dalam best seller. Hingga saat ini, Laskar Pelangi mampu terjual lebih dari satu juta eksemplar.

Penjualan Laskar Pelangi semakin merangkak naik setelah Andrea muncul dalam salah satu acara televisi. Bahkan penjualannya mencapai 20 ribu dalam sehari. Sungguh merupakan suatu prestasi tersendiri bagi Andrea, terlebih lagi ia masih tergolong baru sebagai seorang penulis novel. Padahal Andrea sendiri mengaku sangatlah jarang membaca novel sebelum menulis Laskar Pelangi. Sukses dengan Laskar Pelangi, Andrea kemudian kembali meluncurkan buku kedua, Sang Pemimpi yang terbit pada Juli 2006 dan dilanjutkan dengan buku ketiganya, Edensor pada Agustus 2007. Selain meraih kesuksesan dalam tingkat penjualan, Andrea juga meraih penghargaan sastra Khatulistiwa Literary Award (KLA) pada tahun 2007.


Lebaran di Belitong. Kini, Andrea sangat disibukkan dengan kegiatannya menulis dan menjadi pembicara dalam berbagai acara yang menyangkut dunia sastra. Penghasilannya pun sudah termasuk paling tinggi sebagai seorang penulis. Namun demikian, beberapa pihak sempat meragukan isi dari novel Laskar Pelangi yang dianggap terlalu berlebihan. “Ini kan novel, jadi wajar seandainya ada cerita yang sedikit digubah,” ungkap Andrea yang memiliki impian tinggal di Kye Gompa, desa tertinggi di dunia yang terletak di pegunungan Himalaya. Kesuksesannya sebagai seorang penulis tentunya membuat Andrea bangga dan bahagia atas hasil kerja kerasnya selama ini.

Meski disibukkan dengan kegiatannya yang cukup menyita waktu, Andrea masih tetap mampu meluangkan waktu untuk mudik di saat Lebaran lalu. Bahkan bagi Andrea, mudik ke Belitong di saat Lebaran adalah wajib hukumnya. “Orang tua saya sudah sepuh, jadi setiap Lebaran saya harus pulang,” ujar Andrea dengan tegas. Di Belitong, Andrea melakukan rutinitas bersilaturahmi dengan orang tua dan kerabat lainnya sembari memakan kue rimpak, kue khas Melayu yang selalu hadir pada saat Lebaran. Kendati perjalanan ke Belitong tidaklah mudah, karena pilihan transportasi yang terbatas, Andrea tetap saja harus mudik setiap Lebaran tiba. Terlebih lagi, bila ia tak kebagian tiket pesawat ke Bandara Tanjung Pandan, Pulau Belitong, maka mau tak mau Andrea harus menempuh 18 jam perjalanan dengan menggunakan kapal laut.

Perasaan bangga dan bahagia semakin dirasakan Andrea tatkala Laskar Pelangi diangkat menjadi film layar lebar oleh Mira Lesmana dan Riri Riza. “Saya percaya dengan kemampuan mereka,” ujarnya tegas. Apalagi, film Laskar Pelangi juga sempat ditonton oleh orang nomor satu di negeri ini, Susilo Bambang Yudhoyono beberapa waktu lalu. “



Kini Laskar Pelangi memiliki artikulasi yang lebih luas daripada sebuah buku. Nilai-nilai dalam Laskar Pelangi menjadi lebih luas,” tutur Andrea



Menjadi seorang penulis novel terkenal mungkin tak pernah ada dalam pikiran Andrea Hirata sejak masih kanak-kanak. Berjuang untuk meraih pendidikan tinggi saja, dirasa sulit kala itu. Namun, seiring dengan perjuangan dan kerja keras tanpa henti, Andrea mampu meraih sukses sebagai penulis memoar kisah masa kecilnya yang penuh dengan keperihatinan.





Ahmad Fuadi, Dari Minang Ke Quebec

Ahmad Fuadi, pria kelahiran Nagari Bayur, sebuah kampung kecil di pinggir Danau Maninjau 30 Desember 1972, adalah seorang novelis, praktisi konservasi, dan wartawan. Ibunya guru SD dan ayahnya guru madrasah.
Fuadi merantau ke Jawa, mematuhi permintaan ibunya untuk masuk sekolah agama. Ia masuk di Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo tahun 1988 dan lulus tahun 1992. Di sana dia bertemu dengan kiai dan ustad yang diberkahi keikhlasan mengajarkan ilmu hidup dan ilmu akhirat.
Gontor pula yang membukakan hatinya kepada rumus sederhana tapi kuat, ”man jadda wajada”, siapa yang bersungguh ­sungguh akan sukses.
Juga sebuah hukum baru: ilmu dan bahasa asing adalah anak kunci jendela-jendela dunia. Bermodalkan doa dan manjadda wajada, dia mengadu untung di UMPTN. Jendela baru langsung terbuka. Dia diterima di jurusan Hubungan Internasional, Universitas Padjajaran (UNPAD) Bandung dan lulus 1997.
Semasa kuliah, Fuadi pernah mewakili Indonesia ketika mengikuti program Youth Exchange Program di Quebec, Kanada (1995-1996). Di ujung masa kuliah di Bandung, Fuadi mendapat kesempatan kuliah satu semester di National University of Singapore dalam program SIF Fellowship (1997).
Lulus kuliah, dia mendengar majalah favoritnya Tempo kembali terbit setelah Soeharto jatuh. Sebuah jendela baru tersibak lagi, Tempo menerimanya sebagai wartawan (1998). Kelas jurnalistik pertamanya dijalani dalam tugas-tugas reportasenya di bawah para wartawan kawakan Indonesia.
Selanjutnya, jendela-jendela dunia lain bagai berlomba-lomba terbuka. Setahun kemudian, dia mendapat beasiswa Fulbright untuk program S-2 di School of Media and Public Affairs, George Washington University (2001). Merantau ke Washington DC bersama Yayi, istrinya—yang juga wartawan Tempo—adalah mimpi masa kecilnya yang menjadi kenyataan.
Sambil kuliah, mereka menjadi koresponden TEMPO dan wartawan VOA. Berita bersejarah seperti peristiwa 11 September dilaporkan mereka berdua langsung dari Pentagon, White House dan Capitol Hill.
Tahun 2004, jendela dunia lain terbuka lagi ketika dia mendapatkan beasiswa Chevening untuk belajar di Royal Holloway, University of London untuk bidang film dokumenter. Kini, penyuka fotografi ini menjadi Direktur Komunikasi di sebuah NGO konservasi: The Nature Conservancy (2007-sekarang).
Fuadi menguasai bahasa Inggris, Perancis, dan Arab serta pernah menerima penghargaan (award) antara lain: Indonesian Cultural Foundation Inc. Award (2000-2001), Columbus School of Arts and Sciences Award, The Goerge Washington University (2000-2001), dan The Ford Foundation Award (1999-2000).
”Negeri 5 Menara” adalah buku pertamanya dari rencana trilogi. Buku-buku ini berniat merayakan sebuah pengalaman menikmati atmosfir pendidikan yang sangat inspiratif. Diharapkan buku ini bisa membukakan mata, hati serta menebarkan inspirasi ke segala arah. Buku ini dalam waktu 9 bulan sudah terjual 100.000 eksemplar. Ini adalah rekor baru untuk semua buku lokal yang diterbitkan oleh Gramedia Pustaka Utama sepanjang 36 tahun ini.
Sebagian royalti buku ini diniatkan untuk merintis Komunitas Menara, sebuah organisasi sosial berbasis relawan (volunteer) yang menyediakan sekolah, perpustakaan, rumah sakit, dan dapur umum secara gratis buat kalangan yang tidak mampu.

Sabtu, 03 Desember 2011

Resensi Novel Ranah 3 Warna


Perlu Kesabaran Dalam Kesungguhan


Judul Buku    : Ranah 3 Warna

Penulis          : Ahmad Fuadi

Penerbit         : Gramedia Pustaka Utama

Cetakan         : Januari - 2011

Tebal              : 473 halaman

Harga             : Rp 65.000,00

ISBN               : 9789792263251

Tema              : Ketegaran

             Setamat dari pondok Madani,  Alif melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi. Namun ada satu hal yang penting yang ia baru sadar. Ijazah. Bagaimana bisa lolos SNMPTN tanpa selembar ijazah. Itu tadi adalah sekilas sepotong cerita dari novel Ranah 3 Warna.

            Novel Ranah 3 Warna adalah novel kedua dari trilogi negeri 5 menara yang penulisnya adalah Ahmad Fuadi, seorang mantan wartawan TEMPO dan VOA yang memiliki segudang prestasi. Diantaranya adalah memperoleh 8 beasiswa dari luar negeri. Dan dianugerahi sebagai penulis dan fiksi terfavorit.

            Novel Ranah 3 Warna mendapat apresiasi yang begitu besar dari masyarakat, ini karena, kali ini berbeda dengan yang lain, dimana novel ini mengandung makna hidup, kesabaran, keberanian, keikhlasan, dan kesungguhan. Jarang sekali novel menceritakan kehidupan di sebuah pondok, tapi sang penulis benar-benar menyajikannya dengan sangat apik. Ditambah beberapa budaya masyarakat Minang yang unik. Arti dari ranah 3 warna ialah tiga daratan, Bandung, Amman Yordania, dan Quebec Canada.

            Cerita dalam buku ini tidak hanya perjuangan saja, tapi juga diselingi kisah percintaan seorang Alif kepada Raisa.

            Novel ini mempunyai beberapa kelebihan, dengan kelebihannya inilah yang membuat unggul diantara novel lainnya yang sudah mendahuluinya. Penulis tidak hanya menuangkan fiksi belaka, tapi juga pengalaman hidup, penggambaran suasana yang tepat, dan mudah dimengerti, yang membuat isi novel ini lebih hidup. Penulis mampu membawa pembaca untuk benar-benar merasakan bagaimana menjelajah Benua Amerika, ikut menyelami budaya orang barat, dan berinteraksi dengan penduduk di sana. Dan tentu saja penulis menyajikan bagaimana hidup itu harus dijalani, walau sekeras apapun usaha kita harus tetap diiringi dengan kesabaran.

            Untuk secara fisik, novel ini menarik, unik, dan covernya yang membuat penasaran. Ialah sepasang sepatu, pemberian dari ayah Alif di mana telah menginjak tiga ranah yang berbeda, dari Minang, Timur Tengah, hingga Amerika. Pembatas buku ini unik,berbentuk daun maple yang menjadi khas negara Kanada.

            Sayang sekali, penulis tiba-tiba mengabaikan tokoh Bang Togar di pertengahan hingga akhir novel ini, padahal Bang Togar lah yang berjasa dalam kehidupan Alif di Bandung. Lalu, cara si penulis menggambarkan tokoh si Alif juga kurang mendalam. Tidak ada konflik yang berhasil dikelola si pengarang dengan baik dan mendalam. Semuanya  hadir, ada yang dipaksakan dan hilang begitu cepat.

            Namun, menurut saya, keseluruhan dari novel ini adalah bagus, luar biasa. Penuh inspiratif melebihi dari novel yang pertama. Ahmad Fuadi selalu menyelipkan kata-kata yang memotivasi, mulai dari yang Arab hingga Inggris.

            Pembaca dibuat untuk memaknai hidup yang sulit dijalani, dengan sabar, ikhlas, dan tawakal. Sekeras apapun usaha kita itu. Begitu banyak pelajaran yang bisa diambil.

            Ahmad Fuadi berhasil menciptakan sebuah buku yang penuh inspirasi, penuh semangat, dan penuh kesabaran dalam menjalani hidup ini.

            Betapa hebatnya buku ini, sungguh sangat wajib dibaca oleh anak-anak, remaja, bahkan orang tua, orang yang sedang ingin mencari beasiswa, orang-orang yang merasa nyaris putus asa, orang yang masih pesimis dengan cita-cita tingginya, dan wajib dibaca juga oleh setiap orang yang berlari dan tidak berhenti berlari mengejar mimpi-mimpinya. Tentu saja buku ini juga wajib dimiliki oleh semua kalangan. Sasaran pembaca ialah para pemuda, di mana pemuda pada umumnya memiliki semangat yang tinggi, cocok dimiliki oleh pemuda-pemuda.

“Dalam hidup ini, ternyata man jadda wajadda saja tidak cukup. Ada jarak terbentang diantara sungguh-sungguh dan sukses. Jarak yang harus ditempuh dengan sabar aktif. Man Shabara Zhafira.”